Apa itu Ekonomi Kerakyatan?
Dalam literatur ilmu ekonomi, sistem ekonomi yang melibatkan rakyat banyak sebagai pelaku utama terdapat pada sistem dualisme ekonomi (dual economy). Sistem ini muncul pada jaman penjajahan dimana ketika itu, kira- kira abad 18 penjajah (Belanda) membawa perusahaan swasta multinasional yang dikenal dengan nama Verineering Oos Nederlandche Maatchappaij (VOC). VOC memegang peranan penting dalam ekonomi penjajah ketika itu. Membeli rempah-rempah, karet, kina, kopi, teh, tembakau, vanili dan hasil pertanian yang lain. Hasil ini dibawa ke Eropa. Perusahaan yang menangani ini merupakan perusahaan yang besar dengan teknologi modern dan orientasinya ke pasar ekspor. Kelompok ini dinamakan dengan sektor modern. Kelompok perusahaan ini dibantu oleh dua bank asing juga dari Belanda yaitu De Javase Bank dan Nederlandche Handel Maatchappaij/NHM). Kemudian kira-kitra tahun 1950-an Presiden Sukarno menasionalisasi kedua bank tersebut menjadi Bank Indonesia dan Bank Rakyat Indonesia.
Di lain pihak diluar atau disekeliling sektor itu terdapat perkebunan yang dikuasai oleh masyarakat lokal, dengan luas garapan sangat sempit. Komoditi yang dihasilkan umumnya kebutuhan pokok masyarakat yaitu beras dan bahan makanan yang lain. Kalaupun ada tanaman ekspor seperti tebu, kopi dan teh namun dengan garapan luas lahan yang sempit, teknologi sederhana atau tradisional, motif petani adalah produksi untuk keperluan sendiri (subsisten). Kelompok ini dinamakan dengan sektor tradisional. Kedua sektor ini (modern dan tradisional) berjalan secara paralel. Sektor tradisional juga mengerjakan bidang keperluan bagi sektor modern yang tidak bisa dikerjalan sendiri oleh sektor modern, seperti pemasokan barang konsumsi bagi pekerja di sektor modern. Sebagai imbalan sektor modern memberi bebarapa pekerjaan pilahan seperti menyediakan komoditi yang akan diekspor seperti sebagian kecil karet atau kina dll.
Pada jaman orde baru, perekonomian yang mengutamakan pelaku rakyat banyak dilakukan dengan nama: sektor informal. Sektor ini mendapat penanganan dari pemerintah begitu intensif. Pemerintah orde baru mengambil kebijakan setelah mempelajari sektor ini di beberapa negara berkembang lain.
Siapa yang dikatakan sektor informal?
Banyak batasan yang dilakukan pada berbagai negara. Ada yang menyamakan sektor ini dengan sektor usaha kecil atau usaha mikro. Kecil, menengah atau besar jika dihubungkan dengan banyak tenaga kerja yang ditampung. Namun hampir semua sama yang memasukkan usaha mikro ini adalah usaha kecil. Di Bolivia dan Mexico mendefinisikan usaha kecil atau mikro jika usaha ini menampung kurang dari 6 orang tenaga kerja. Di Amerika Tengah hanya kurang dari lima orang, di Kenya kurang dari 10 orang sedangkan di Sudan memakai definisi jika usaha menampung kurang dari 20 orang. Semua usaha ini dimasukkan sebagai ‘self employed firm’. Akhirnya ILO memakai definisi ini dengan rentangan 5 sampai 10 rang pekerja (Henley, A.,2006 hal. 7). Tidak semua tenaga kerja yang tertampung selamanya akan bekerja di sektor usaha kecil ini. Karena sebagian dari tenaga kerja ini hanya menunggu untuk bisa bekerja pada sektor formal yang mereka inginkan. Jadi usaha ini sifatnya penampungan sementara. Oleh karena itu maka bisa ditebak semua tenaga kerja pada usaha kecil ini tidak ada jaminan sosial dan tidak diasuransikan.
Upah yang diterima sebagian besar masih dibawah upah minimim. Marjit (2007) melaporkan, mengutip pendapat Agenor (1996), bahwa di Tunisia hanya 11 persen dari angkatan kerja yang memperoleh sesuai dengan upah minimum. Namun pekerja disektor informal hampir semuanya memperoleh upah dibawah upah minimum, ini disebabkan karena mekanisme pengupahan diluar mekanisme pasar. Namun perlu dicatat bahwa ketika resesi terjadi justru pendapatan disektor informal meningkat karena partisipasi tenaga kerja pada masa ini meningkat. Sedangkan ketika kondisi ekonomi sedang berkembang atau menanjak sumbangan pendapatan disektor informal menurun. Hal ini dilaporkan oleh Marquez dan Portela dalam penelitiannya 1991 di Venezuela (Orlando, 2001, hal 7).
Ekonomi Kerakyatan di Jaman Orde Baru dan Jaman Reformasi
Pada Jaman Orde Baru (1966-1998) telah terjadi beberapa modifikasi yang telah diambil oleh pemerintah dalam menangani ekonomi kerakyatan. Pada Pada Pelita II (1973-1978) dan Pelita III (1979-1983) pemerintah melakukan kebijakan melalui apa yang disebut dengan sektor informal. Di Indonesia konsep kebijakan ini dikenalkan oleh akademisi Prof Hidayat dari Universitas Padjadjaran Bandung. Batasan sektor informal tidak jauh berbeda dengan para peneliti dari mancanegara. Dikatakan sektor informal itu adalah usaha yang dilakukan dengan beberapa ciri diantaranya: usaha dengan skala kecil, tenaga kerja keluarga, tidak terdaftar, tidak perlu ijin formal seperti ijin usaha, tidak pernah membayar pajak dan tidak mempunyai akses ke lembaga keuangan sebagai pemasok modal. Kebijakan yang diambil adalah dengan memberi bantuan modal melalui sektor perbankan seperti kredit usaha kecil, kredit modal kerja permanen. Otoritas moneter, Bank Indonesia bekerja sama dengan pemerintah membuat kebijakan dengan bank umum pemerintah dan bank umum swasta sebagai bank pelaksana.
Pada Pelita VI pemerintah membuat kebijakan yang disebut dengan Program Jaring Pengaman Sosial. Dasar pemikiran ini, seperti yang dikemukakan oleh Sumodiningrat (1999), bahwa pertumbuhan (ekonomi) harus beriringan dengan pembagian hasil-hasil pembangunan secara lebih merata (redistribution with growth)
Upaya pengembangan ekonomi rakyat perlu diarahkan untuk mendorong perubahan struktural (structural adjustment atau structural transformation) dengan cara memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional. Perubahan struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi moderan, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi yang subsistem ke ekonomi pasar, dari ketergantungan ke kemandirian. Perubahan struktural ini mensyarakatkan langkat-langkah dasar yang meliputi pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan teknologi serta pemberdayaan sumber daya manusia.
Pada akhir Pelita VI, menjelang lengsernya Presiden Suharto, atau menjelang krisis 1997 dan 1998 diadakan program Jaring Pengaman Sosial yaitu: a. peningkatan ketahanan pangan (food security), b. penciptaan lapangan kerja produktif (employment creation), c. pengembangan usaha kecil dan menengah (small and medium enterprises), dan d, perlindungan sosial dalam pelayanan dasar khususnya kesehatan dan pendidikan (social protection). Kebijaksanaan ini hampir menelan dana Rp.18 triliun yang dibagi menjadi 17 sektor pembangunan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar